10 Cendikiawan islam pada zaman
al-bassiyah,antara lain:
1.AL-FAZARY
Abu Abdallah Muhammad ibn Ibrahim al-Farazi
(796-806) adalah seorang filsuf muslim, matematikawan, dan astronom.Beliau
lahir di tengah keluarga ilmuwan. Ayah beliau, Ibrahim al Fazari, juga seorang
astronomer dan matematikawan. Beberapa sumber mengatakan bahwa dilihat dari
nama, beliau berasal dari Arab tapi mempelajari ilmu di Persia dan sumber yang
lain mengatakan bahwa beliau adalah seorang Persia. Al Farazi menetap serta
berkarya di Baghdad, Irak, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah.
Al Farazi adalah
salah satu astronom paling awal di dunia Islam. Beliau memegang peran penting
dalam kemajuan ilmu astronomi di masa Abbasiyah. Al Fazari menerjemahkan
beberapa literatur asing ke dalam bahasa Arab dan Persia. Bersama dengan
beberapa cendekiawan lain, seperti Naubakht, Masha'Alhah, dan Umar ibnu
al-Farrukhan al-Tabari, beliau meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan di dunia
Islam. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa saat itu memberikan peluang dan dukungan
yang sangat besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan apalagi dalam bidang
astronomi. Khalifah al-Mansyur adalah penguasa Abbasiyah pertama yang memberi
perhatian serius dalam pengkajian astronomi dan astrologi. Beliau tidak segan
untuk mengeluarkan dana besar untuk memulai pengembangan ilmu ini.
Khalifah mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk menerjemahkan beragam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi yang bernama Naubahkh untuk memimpin upaya itu. Khalifah meulis surat pada kaisar Bizantium agar mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus, sang khalifah meminta al Fazari untuk menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India yang berjudul Sindhind, tylisan Brahmaghupta. Buku tersebut dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama Mauka ke Baghdad dan segera menarik perhatian kaum cendekia di sana. Al Fazari menunaikan tugas dengan baik.
Al Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya "Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern", saat itu telah menguasai astronomi sehingga di bawah arahan khalifah langsung beliau mampu menerjemahkan dan menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis tersebut. Kemudia beliau memberi judul Zij al Sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab) pada karya terjemahannya tersebut.
Khalifah mengumpulkan dan mendorong cendekiawan muslim untuk menerjemahkan beragam literatur yang berasal dari Yunani, Romawi Kuno, India, hingga Persia. Sang khalifah menunjuk seorang ahli astronomi yang bernama Naubahkh untuk memimpin upaya itu. Khalifah meulis surat pada kaisar Bizantium agar mengirimkan buku-buku ilmiah untuk diterjemahkan, termasuk buku-buku tentang ilmu astronomi. Secara khusus, sang khalifah meminta al Fazari untuk menerjemahkan sebuah buku tentang astronomi dari India yang berjudul Sindhind, tylisan Brahmaghupta. Buku tersebut dibawa oleh seorang pengembara dan ahli astronomi India bernama Mauka ke Baghdad dan segera menarik perhatian kaum cendekia di sana. Al Fazari menunaikan tugas dengan baik.
Al Fazari, ungkap Ehsan Masood dalam bukunya "Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern", saat itu telah menguasai astronomi sehingga di bawah arahan khalifah langsung beliau mampu menerjemahkan dan menyadur teks astronomi India kuno yang sangat teknis tersebut. Kemudia beliau memberi judul Zij al Sinin al Arab (Tabel Astronomi Berdasarkan Penanggalan Bangsa Arab) pada karya terjemahannya tersebut.
Ilmuwan terkemuka
bernama Yaqub ibnu Tariq juga turut membantu dalam proyek pengalihan bahasa
tersebut. Menurut Ehsan Masood, penerjemahan Sindhind sangat berharga. Bukan
hanya karena wawasan astronominya tapi juga sistem penomoran India yang ada di
dalamnya. Hasil kerja Al Farazi melalui penerjemahan mengenalkan sistem
penomoran tersebut ke dunia
Arab.
2.AL-FARGANI
Al-Farghani adalah
seorang ahli astronomi muslim yang sangat berpengaruh. Nama lengkapnya adalah
Abu al-Abbas bin Muhammad bin Kalir al-Farghani. Di Barat, para ahli astronomi
abad pertengahan mengenalnya dengan sebutan al-Farghanus.
Al-Farghani berasal dari
Farghana, Transoxania. Farghana adalah sebuah kota di tepi sungai Sardaria,
Uzbekistan. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah al-Ma'mun (813-833) hingga
masa kematian al-Mutawakkil (847-881). Al-Farghani sangat beruntung hidup di
dua masa tersebut karena pemerintah kekhalifahan memberi dukungan penuh bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Buktinya, sang khalifah membangun
sebuah lembaga kajian yang disebut Akademi al-Ma'mun, dan mengajak al-Farghani
untuk bergabung. Bersama para ahli astronomi lain, ia diberi kesempatan
menggunakan peralatan kerja yang sangat canggih pada masa itu. Ia memanfaatkan
fasilitas yang ada untuk mengetahui ukuran bumi, meneropong bintang, dan menerbitkan
laporan ilmiah. Pada tahun 829, al-Farghani melakukan penelitian di sebuah
observatorium yang didirikan oleh khalifah al-Ma'mun di Baghdad. Ia ingin
mengetahui diameter bumi, jarak, dan diameter planet lainnya. Pada akhirnya, ia
berhasil menyelesaikan penelitian tersebut dengan baik.
Al-Farghani juga
termasuk orang yang turut memperindah Darul Hikmah al-Ma'mun dan mengambil
bagian dalam proyek pengukuran derajat garis lintang bumi. Al-Farghani juga
berhasil menjabarkan jarak dan diameter beberapa planet. Pada masa itu, hal
tersebut merupakan pencapaian yang sangat luar biasa.
Hasil penelitian
al-Farghani di bidang astronomi ditulisnya dalam berbagai buku. Harakat
as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang)adalah salah satu
karya utamanya yang berisi kajian bintang-bintang. Sebelum masa
Regiomontanus, Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum adalah
salah satu buku yang sangat berpengaruh bagi perkembangan astronomi di Eropa.
Di dalam buku tersebut,
al-Farghani memang mengadopsi sejumlah teori Ptolemaeus, tapi ia
mengembangkanya lebih lanjut hingga membentuk teorinya sendiri. Tak
heran, Harakat a-Samawiyya wa Jawami Ilm an-Nujum mendapatkan respon
yang positif dari para ilmuwan muslim dan non muslim. Buku ini pun diterjemahkan
dalam berbagai bahasa. Harakat as-Samawiyya wa Jawami Ilm
an-Nujum yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris mengalami perubahan judul
menjadi The Elements of Astronomy. Pada abad XII, buku ini diterjemahkan
pula dalam dua versi bahasa Latin. Salah satunya diterjemahkan oleh John
Seville pada tahun 1135, sebelum kemudian direvisi oleh Regiomontanus pada
tahun 1460-an. Sebelum tahun 1175, karya ini juga sempat diterjemahkan oleh
Gerard Ceremona.
3.JABIR BATANY
Al-Battani lahir pada tahun 858 di Battan,
Harran. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad Ibn Jabir Ibnu Sinan
al-Battani. Namun, para penulis abad pertengahan lebih sering menyebutnya
dengan nama Albetegni atau al-Batenus.
Ketertarikan al-Battani pada benda-benda langit
membuatnya menekuni bidang astronomi. Ia mendapat pendidikan tersebut dari sang
ayah, Jabir Ibn San’an al-Battani, yang juga seorang ilmuwan. Dengan
kecerdasannya, al-Battani mampu menguasai semua pelajaran yang diberikan
ayahnya dan menggunakan sejumlah peralatan astronomi dalam waktu yang cukup
singkat. Beberapa waktu kemudian, ia meninggalkan Harran menuju kota Raqqa yang
terletak di tepi sungai Eufrat. Di kota ini, ia melanjutkan pendidikan dan
mulai melakukan bermacam penelitian, yang kemudian menghasilkan sejumlah
penemuan penting yang berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Pada tanggal 14
September 786, khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima Dinasti Abbasiyah,
membangun sejumlah istana di kota tersebut sebagai bentuk penghargaannya atas
penemuan al-Battani. Usai pembangunan tersebut, kota Raqqa berubah menjadi
pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan perdagangan yang ramai.
Sebagai seorang ahli astronomi, al-Battani
menghasilkan sejumlah penemuan astronomi yang penting bagi dunia. Ia adalah
ilmuwan pertama yang mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan bumi
mengelilingi matahari, yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Angka
yang ditunjukkan dalam perhitungannya itu mendekati angka yang dihasilkan para
ilmuwan modern saat melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan alat yang
lebih akurat. Ketika alat astronomi canggih belum ditemukan, al-Battani dikenal
telah melakukan penelitian terhadap bermacam benda langit.
Selama 42 tahun, al-Battani terus melakukan
penelitian semacam itu dan menghasilkan sejumlah penelitian yang mengagumkan.
Ia menemukan garis bujur terjauh matahari mengalami pengingkatan
16,470 sejak perhitungan yang dilakukan Ptolomeus beberapa abad
sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan satu penemuan penting tentang gerak
lengkung matahari. Al-Battani juga bisa menentukan kemiringan ekliptik, panjang
musim, dan orbit matahari secara akurat. Ia bahkan berhasil menemukan orbit
bulan dan planet, dan menetapkan Teori Kemunculan Bulan Baru. Pada tahun 1749,
penemuan al-Battani mengenai garis lengkung bulan dan matahari digunakan
Dunthorne untuk menentukan gerak akselerasi bulan.
4.ABU JA’FAR MUHAMMAD
Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin
Jari At-Tabari, beliau lebih dikenal dengan nama at-Tabari atau Ibnu Jarir
at-Tabari, beliau seorang sejarahwan dan ahli tafsir terkemuka kelahiran kota
Amul, Tabaristan (di Iran) pada tahun 225 Hijriyah atau 839 sesudah Masehi.
Kota Amul tersebut merupakan tempat berkembangnya kebudayaan Islam, namun ia
lebih banyak menghabiskan waktunya di kota Baghdad.
Di kota Baghdad, ia pernah ditunjuk menjadi hakim, tetapi ia menolaknya. Lalu, pemerintah juga pernah memintanya menjadi hakim yang menangani perkara-perkara kezaliman para pejabat. Namun, ia pun tetap menolaknya.
Pada saat berusia kurang lebih 85 tahun, beliau wafat di kota Baghdad, tepatnya pada tahun 310 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 923 sesudah Masehi.
Sebagian besar hidupnya di isi dengan mengajar dan menulis. Salah seorang muridnya, yakni Ibnu Kumail, menjelaskan bagaimana gurunya membagi waktu setiap ahri. Pagi sampai siang hari digunakannya untuk menulis. Di dalam satu hari beliau sanggup menulis 40 halaman karya ilmiah. Adapun pada sore hari, ia memberi pelajaran al-Qur'an dan tafsir di mesjid. Lalu, selepas maghrib ia memberikan pelajaran ilmu fikih.
Di kota Baghdad, ia pernah ditunjuk menjadi hakim, tetapi ia menolaknya. Lalu, pemerintah juga pernah memintanya menjadi hakim yang menangani perkara-perkara kezaliman para pejabat. Namun, ia pun tetap menolaknya.
Pada saat berusia kurang lebih 85 tahun, beliau wafat di kota Baghdad, tepatnya pada tahun 310 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 923 sesudah Masehi.
Sebagian besar hidupnya di isi dengan mengajar dan menulis. Salah seorang muridnya, yakni Ibnu Kumail, menjelaskan bagaimana gurunya membagi waktu setiap ahri. Pagi sampai siang hari digunakannya untuk menulis. Di dalam satu hari beliau sanggup menulis 40 halaman karya ilmiah. Adapun pada sore hari, ia memberi pelajaran al-Qur'an dan tafsir di mesjid. Lalu, selepas maghrib ia memberikan pelajaran ilmu fikih.
Untuk melanjutkan sekolahnya ke pusat-pusat studi Islam, at-Tabari pertama kali
berangkat ke kota Rayy, Iran. Setelah itu ia pindah ke kota Baghdad untuk
menemui Imam Ahmad bin Hanbal. Namun sebelum ia sampai ke kota tersebut, Imam
Hanbali meninggal dunia (241 H/855 M). Lalu, ia pergi ke kota Wasit dan Basrah
untuk mengikuti beberapa kuliah. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan ke
kota kota Kufah untuk mendalami hadis dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya.
Kemudian beliau kembali ke kota Baghdad untuk belajar ilmu-ilmu al-Qur'an dan fikih, khususnya fikih Syafi'i. Pada tahun 253 H/867 M, beliau pergi ke kota Fustat, Mesir, dan singgah di Suriah untuk belajar ilmu hadis. Setelah itu, ia kembali lagi ke kota Baghdad dan berhasil menulis berbagai karya monumental yang tetap banyak digunakan sampai saat ini.
Kemudian beliau kembali ke kota Baghdad untuk belajar ilmu-ilmu al-Qur'an dan fikih, khususnya fikih Syafi'i. Pada tahun 253 H/867 M, beliau pergi ke kota Fustat, Mesir, dan singgah di Suriah untuk belajar ilmu hadis. Setelah itu, ia kembali lagi ke kota Baghdad dan berhasil menulis berbagai karya monumental yang tetap banyak digunakan sampai saat ini.
Kitab tafsirnya yang paling terkenal adalah
kitab Jami' al-Bayan Fi tafsir al-Qur'anatau lebih di kenal dengan nama
kitab Tafsir at-Tabari. Kitab itu berorientasi pada permasalahan tafsir hukum
(fiqih), karena ia juga terkenal sebagai seorang fuqaha lewat
karyanya Iktilaf al-Fuqaha' (perbedaan pendapat para ulama).
5.IBNU SINA
Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin
Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena
lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara.
Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab
Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh
ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga
salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam
pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.
Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga
kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami
dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok
bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari
panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di
penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan
ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan
Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik.
Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai
macam penyakit.
6.IBNU MISKAWAIH
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn
Yaqub Ibn Miskawaih, adalah seorang filosof muslim yang di anggap mampu
memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di samping juga ahli dalam
filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya pada
filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya Ibnu Miskawaih adalah seorang dokter,
sejarawan dan ahli bahasa.[T.J.De Boer, Tarikh al –Falsafah fi al-islam.
Terjemah Muhd. Abd al-Hadi Abu Ridah.Kairo Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah.
Tt. hlm 73] Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran Iran) dan
meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M,
Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450
H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi‟ah. Latar belakang pendidikannya tidak
diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal mempelajari sejarah
dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn
al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan
utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris,
pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Keahlian
Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan
dalam karya monumentalnya Tahdzib al-al-Akhlaq wa Tathhir al-A`raq. Karya ini
terdiri dari tujuh bab yang secara sistematis dimulai dengan pembahasan tentang
jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal usulnya bab tiga, yang
merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan, terutama membicarakan
tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab keempat, tatkala membicarakan keadilan
dia mengikuti ethics Aristoteles, bab kelima membahas persahabatan dan cinta
kembali mengikuti Aristoteles. Pada bab keenam dan ketujuh membahas pengobatan
ruhani dan dia mengikuti Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi dalam kitab “ al-Tibb
al-Ruhani” dan Ibnu Miskawaih menggunakan istilah yang hampir sama, Tibb
al-Nufus. Dalam kitab ini membahas hal yang berkaitan dengan berbangga diri,
susah dan takut mati serta penyembuhan penyakit jiwa yang oleh al-Kindi di
tulis sebuah penjelasan tentang menolak kesedihan. [F M.M. Syarif (ed) A.
History of Muslim Philoshopy, Waesbaden: Otto Harrosowitz, 1963, Vol. I hlm
90-96]. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih
ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak
(Tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah: al-Fauz al-Akbar, Al-Fauz
al-Asghar (tentang metefisika: ketuhanan, jiwa dan kenabian)dan masih banyak
yang lainnya.
7.IBNU AL-HAITIM
Di kalangan cerdik pandai Barat, beliau dikenal
dengan nama Alhazen. Ibnu Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354H/965 Masehi. Beliau memulai
pendidikan di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di tanah
kelahirannya. Setelah beberapa lama berkhidmat dengan pihak pemerintah, beliau
kemudian merantau keAhwaz dan Baghdad. Di perantauan, beliau
melanjutkan pendidikannya dan menumpukan perhatian pada aktivitas penulisan.
Kecintaan beliau pada ilmu telah membawanya
berhijrah menuju Mesir. Di sana beliau melakukan beberapa pekerjaan penelitian
tentang aliran dan saluran SungaiNil serta menyalin
buku-buku tentang matematika dan falak. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan uang tambahan dalam menempuh perjalanan menuju Universitas Al-Azhar.
Hasil dari usahanya, beliau menjadi seorang
yang sangat mahir di bidang sains, falak, matematik, geometri, pengobatan, dan
falsafah. Tulisannya mengenai mata, menjadi salah satu rujukan penting
dalam bidang ilmu sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata
telah menjadi asas pada ilmu pengobatan modern tentang mata.
Ibnu Haitham merupakan ilmuwan yang gemar
melakukan penelitian. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberi ilham
kepada ahli sains Barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan
mikroskop dan teleskop. Beliau merupakan orang pertama yang menulis dan
menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.
Beberapa buah buku tentang cahaya yang
ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antara
lain Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas
mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang
dan gerhana.
Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula
apabila matahari berada di garis 19o di ufuk timur. Warna merah pada
senja pula akan hilang apabila matahari berada di garis 19oufuk barat. Dalam
kajiannya, beliau juga telah berhasil menerangkan kedudukan cahaya seperti bias
cahaya dan pembalikan cahaya. ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan
terhadap kaca yang dibakar, dari situ ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori
itu telah digunakan oleh para ilmuwan di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar
yang pertama di dunia.
8.ALI BIN ABBAS
Di Eropa, Ali bin Abbas lebih dikenal dengan
nama Haly Abbas. Ia adalah seorang dokter yang brilian pada masanya.
Jika Qanun dianggap sebagai
"Kitab Suci Kedokteran" sekaligus karya terbaik Ibnu Sina karena
berisi pembahasan tentang seni bedah dan penyembuhan luka maka Kamil
al-Sina'a adalah sebuah buku legendaris karya Ali Abbas Majusi yang
mengulas tentang ilmu bedah hingga ke intinya. Buku ini sangat spektakuler
karena terdiri dari 110 bab. Dalam Kamil al-Sina'avolume 10, Ali Abbas
melengkapinya dengan menambahkan sebuah teori khusus mengenai terapi
pembedahan, padahal ilmu tersebut masih kurang diminati di dunia ilmu
pengetahuan Islam masa itu. Ilmu jenis ini muncul pertama kali dalam bentuk
terjemahan literatur berbahasa Arab pada abad IX, sebelum kemudian memasuki
Eropa pada abad pertengahan. Kerja keras, kecerdasan, dan prestasi Ali
Abbas akhirnya didengar oleh Amir Adud Daulah, seorang khalifah keturunan
Buwaihi yang memerintah di Baghdad. Sang khalifah segera meminta Ali Abbas
menulis sesuatu yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai
jawaban, Ali Abbas pun membuat sebuah karya penting di bidang kedokteran, yang
kemudian dipersembahkannya untuk sang khalifah. Karya tersebut berjudulKamil
al-Sina'a atau Kamil al-Maliki.
Di kemudian hari, para penerjemah bahasa Latin
abad pertengahan menerjemahkan karya tersebut menjadiLiber
Regius atau Liber Regalis. Buku bersejarah ini kembali menjadi
sorotan dalam sejarah kedokteran sebab isinya dianggap hampir mirip
dengan Liber Pantegni. Buku itu pun menjadi buah bibir di kalangan para
ilmuwan. Namu, pada akhirnya Liber Regalis dianggap sebagai buku ajar
utama yang paling lengkap di bidang kedokteran.
Pada tahun 1492, karya Ali Abbas tersebut dicetak ulang di Venice, lalu di
Lyons pada tahun 1523. Adapun bab khusus mengenai pembedahan sebenarnya telah
diterjemahkan oleh Constantin, seorang ilmuwan Afrika, pada abad XI, dan sudah
diajarkan di berbagai perguruan tinggi di Salermo. Sementara itu, Kamil
al-Sina'a versi Arab dicetak ulang di Kairo pada tahun 1297.
Diperkirakan, Ali al-Abbas wafat antara tahun
982 - 995.
9.AL-RAZI
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi atau
dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran
yang hidup antara tahun 864 – 930. Beliau lahir di Rayy, Teheran pada tahun 251
H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Di awal kehidupannya, al-Razi begitu
tertarik dalam bidang seni musik. Namun al-Razi juga tertarik dengan banyak
ilmu pengetahuan lainnya sehingga kebanyakan masa hidupnya dihabiskan untuk
mengkaji ilmu-ilmu seperti kimia, filsafat, logika, matematika dan fisika.
beliau adalah orang yang pertama mampu
menghasilkan asam sulfat serta beberapa asam lainnya serta penggunaan alkohol
untuk fermentasi zat yang manis.
Beberapa karya tulis ilmiahnya dalam bidang ilmu kimia yaitu:
* Kitab al Asrar, yang membahas tentang teknik penanganan zat-zat kimia dan manfaatnya.
* Liber Experimentorum, Ar-Razi membahas pembagian zat kedalam hewan, tumbuhan dan mineral, yang menjadi cikal bakal kimia organik dan kimia non-organik.
* Sirr al-Asrar:
o lmu dan pencarian obat-obatan daripada sumber tumbuhan, hewan, dan galian, serta simbolnya dan jenis terbaik bagi setiap satu untuk digunakan dalam rawatan.
o Ilmu dan peralatan yang penting bagi kimia serta apotek.
o Ilmu dan tujuh tata cara serta teknik kimia yang melibatkan pemrosesan raksa, belerang (sulfur), arsenik, serta logam-logam lain seperti emas, perak, tembaga, timbal, dan besi.
Beberapa karya tulis ilmiahnya dalam bidang ilmu kimia yaitu:
* Kitab al Asrar, yang membahas tentang teknik penanganan zat-zat kimia dan manfaatnya.
* Liber Experimentorum, Ar-Razi membahas pembagian zat kedalam hewan, tumbuhan dan mineral, yang menjadi cikal bakal kimia organik dan kimia non-organik.
* Sirr al-Asrar:
o lmu dan pencarian obat-obatan daripada sumber tumbuhan, hewan, dan galian, serta simbolnya dan jenis terbaik bagi setiap satu untuk digunakan dalam rawatan.
o Ilmu dan peralatan yang penting bagi kimia serta apotek.
o Ilmu dan tujuh tata cara serta teknik kimia yang melibatkan pemrosesan raksa, belerang (sulfur), arsenik, serta logam-logam lain seperti emas, perak, tembaga, timbal, dan besi.
Menurut H.G Wells (sarjana Barat terkenal), para
ilmuwan muslim merupakan golongan pertama yang mengasas ilmu kimia. Jadi tidak
heran jika sekiranya mereka telah mengembangkan ilmu kimia selama sembilan abad
bermula dari abad kedelapan maseh
Beberapa ilmuwan barat berpendapat bahwa beliau juga merupakan penggagas ilmu
kimia modern. Hal ini dibuktikan dengan hasil karya tulis maupun hasil penemuan
eksperimennya.
10.ABU ALI AL-HASAN AL-MAWARDI
Namanya ialah Ali bin Muhammad bin Habib
al-Mawardi al-Basri, al-Syafie.
1 Para ahli sejarah dan tabaqat mengelarkannya
dengan gelaran al-Mawardi, Qadi al-Qudat, al-Basri dan al-Syafie.
2 Al-Mawardi dinisbahkan kepada air mawar.
(ma’ul wardi) kerana bapa dan datuknya adalah penjual air mawar.
3 Qadi Qudat disebabkan beliau seorang ketua
kadi alim dalam bidang feqah. Gelaran ini diterima pada tahun 429 hijrah.
4 Gelaran al-Basri ialah kerana beliau lahir di
Basrah. Sementara nama penggantinya (nama kinayah) ialah Abu Hassan.
Imam al-Mawardi dilahirkan di Basrah pada tahun 364 hijrah bersamaan pada tahun
974 masehi. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang sememangnya cinta kepada ilmu
pengetahuan. Keluarga beliau sentiasa mengambil berat mengenai pendidikan dan
pengajiannya. Sejak kecil lagi beliau diajar al-Quran, al-Hadis, Feqah, Usul
dan lain-lain dari ilmu Syariat. Di peringkat awalnya, ia mendapat bimbingan
daripada Abu Qasim al-Syaimiri, seorang ulama Basrah yang terkenal ketika itu
dalam bidang feqah.1 Beliau mendengar ilmu hadis daripada beberapa ulama
terkenal seperti Hasan bin Ali al-Jayli, Muhamad bin Ma’ali al-Azdi, Muhamad
bin ‘Adi al-Munqari.2 Al-Mawardi mengambil ilmu kesusasteraan bahasa Arab dari
Syeikh Abu Muhamad al-Baqi di samping berguru dengan Syeikh Abu Hamid
Isfarayni.Sejarah telah menunjukkan bahawa al-Mawardi pernah dilantik memegang
jawatan kadi di beberapa buah negeri seperti di Kurat, di negeri Naisaburi
sehingga beliau digelar Qadi al-Qudha. Namun demikian sesetengah ulamak seperti
Abu Taib al-Tabari dan Syaimiri tidak bersetuju dengan gelaran ini. Walau
bagaimanapun gelaran ini terus dikekalkan oleh sebahagian ulama yang lain pada
masa itu. Buktinya gelaran itu masih lagi dikaitkan dengan namanya sehinggalah
beliau wafat dan gelaran itu masih kekal sehingga ke hari ini.
Al-Mawardi mempunyai peranan yang penting dalam pemerintahan kerajaan pada masa
itu. Beliau sentiasa berkecimpung dalam politik pemerintahan dengan menjadi
utusan raja untuk mengambil bai’ah dari rakyat. Ini berlaku ketika kematian
al-Qadirul-Allah pada tahun 422 hijrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar