Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang
meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita
bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang
membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian
ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis
cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang
dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena
seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari
masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah
yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang
paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai
pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu
berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima
imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya
untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri.
Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang
tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga
surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi,
sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia
merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk
dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak
memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah.
Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha
mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa
bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang
dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji
Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai.
Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan
hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus
mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas
kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah
penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam
yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar,
alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam
cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita
pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis
cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema
dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen
Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin
setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada
“Sedari mudaku aku disini, bukan?
Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain,
tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah.
Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.
Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari
esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya
yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan
manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku
menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah
bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk.”
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau
pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan
itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini
dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan
kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk
memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan
cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan
demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau
nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat
dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga,
dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada
paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini
kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah
amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang
dimaksud itu di antaranya:
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek
atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan
orang lain
“Marah ? Ya,
kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama
aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal
kepada Tuhan .…”
dari ucapan
kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai
karangan untuk cepat marah.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita
lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang
baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji
Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:
“Alangkah
tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai
14 kali ke Mekkah dan bergelar
Syekh pula
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran
ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar
sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk
itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa
engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta
bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku
beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku
menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa
beramal kalau engkau miskin......”
(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang
disabdakan Tuhan dalam cerpen ini
”….
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan
kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga
mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu
egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak
memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya
amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk
pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan
pada bagian awal tentang amanat di atas.
Latar
Dalam suatu
cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar
ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar
fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan,
dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh
pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke
barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau
tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi.
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam
cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah
dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu
waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang
yang sudah berpulang ….”
Meskipun begitu, ada juga yang juga
yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan
datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian
yang bakal roboh ………
Sekali hari
aku datang pula mengupah kepada kakek
“Sedari
mudaku aku di sini, bukan ?….”
Latar Sosial
Di dalam
latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial
dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar
sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di
pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana
dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun
Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek
Dari contoh ini tampak latar sosial
berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun
demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan
akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.
“Kita
protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok
sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,”
sebuah suara menyela.
“Setuju.
Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai
Kebiasaan ini tentunya
mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini
(hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena
kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan
akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan
Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada
berikut ini.
Haji soleh
yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang
Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat,
yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut
nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya…”
Akhirnya ada
latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja
gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam
cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke
mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku
mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
Alur (plot).
Bagian Awal
Pada bagian
awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu
bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan
dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa
penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau
tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai
penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari
hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih
dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.
Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum
Dan yang kedua adalah sebagai
instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat
keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita
mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data
berikut :
Tapi kakek
ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya ….
Jika Tuan
datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya ….
Berdasarkan
data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka
adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa
si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan
ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun
ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi
bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah
dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan
dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si
Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk
ini seperti berikut:
Dan biang
keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya.
Data konflik ini kemudian diperkuat
dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi
begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek
begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan
dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk
pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus,
kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
Rupanya si Kakek sedang dicekam
konplik
Konplik ini
berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa
pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu
melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama
pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar
dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“
Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok
tenggorokannya.”
Kemarahannya ini demikian hebat,
makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang
dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena
desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri
tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun,
segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa
ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya,
klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat
membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata
menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak
pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek
garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu
biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia
pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo
Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia
sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia
tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan
ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan
akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak
sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?”
Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia
pergi kerja.”
Penyelesaian
yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang
yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh
istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab?
Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di
atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash
back (sorot balik). Dikatakan
demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku
kisah itu diceritakan.
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.…
Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di
pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya
kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan
biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun
rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang
meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni
bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A.
Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini
begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si
Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang
lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba
aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi
tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ?
Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku
dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi
kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.
“Astaga. Ajo
Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama
istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
b. Ajo Sidi
Tokoh ini
sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan
keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang
bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo
Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk
ini seperti berikut.
….Maka aku
ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin
ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses
terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi
pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak
pelaku-pelaku ceritanya........
.
Dari data
ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c. Si Kakek
Tokoh ini
agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang
tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran
watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan
pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia
segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan
gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari
mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri......
d. Haji Saleh
Tokoh ini
adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir
orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan
karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan
gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri
sendiri.
6. Titik Pengisahan
Yang
dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita
tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu
atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam
cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita
ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang
terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar.....
Sekali hari
Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena
aku suka memberinya uang..........
Akan tetapi,
ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini
diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai
tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan
tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin
menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”.
Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh.
Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh
–tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti
pada bagian awal cerita.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen
ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat
cerpen ini adalah :
1) jangan
cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan
terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
c. Latar
Latar yang
ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur cerpen
ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah
berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa
bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir
bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam
cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang
lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah
dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri
sendiri..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar