Selasa, 29 Agustus 2017

PERAN NAHDHATUL ULAMA DALAM BELA NEGARA DAN MEMPERTAHANKAN NKRI

PERAN NAHDHATUL ULAMA DALAM BELA NEGARA
DAN MEMPERTAHANKAN NKRI
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Berbicara mengenai hubungan negara dan agama tidak lepas dari paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi. Ke empat paham ini berbicara secara luas dan gamblang mengenai hubungan agama dan negara. Teokrasi, berpandangan bahwa hubungan agama dan Negara mempunyai hubungan yang signifikan. Dengan kata lain hubungan agama dan Negara sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan.karena pemerintahan dijalankan didasarkan firman-firman tuhan. Sekularis, berpandangan bahwa Negara dan agama tidak memiliki hubungan satu sama lain, dalam paham ini Negara dan agama adalah murni urusan hubungan manusia dengan manusia lain sedangkan agama adalah murni urusan manusia dengan tuhan. Komunis, paham ini berpandangan secara radikal, bahwa hubungan agama dan Negara berdasarkan pada filosofis materialism dialektis dan materialism historis. Output dan outcome dari pandangan ini adalah paham atheis. Moderasi, yaitu sintesa dari paham teokrasi dan sekuler. Paham ini berpendirian bahwa terdapat nilai-nilai baik, seperti nilai keadilan dan moral dan system keteraturan. Sementara Negara memiliki system kekuatan yang mengejawantahkan tujuan Negara, seperti nilai kesejahteraan dan kenyamanan warga Negara. Namun dalam pembahasan makalah ini penulis tidak akan membahas mengenai hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Walaupun penulis sadar bahwa pembahasan mengenai paham tersebut masih menarik untuk dibahas. Namun pembahsan makalah ini bertendensi pada hubungan agama dan Negara mengenai kontribusi atau sumbangsih Nahdhatul Ulama (NU) terhadap perjalanan sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia sebagai representasi dari Agama Islam . Dengan hal ini maka perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam makalh ini tidak melebar dan pembahsannya focus pada permasalahan yang dirumuskan.








BAB II
PERANAN NAHDLATUL ULAMA DALAM MEMPERJUANGKAN KEBERADAAN NEGARA RI
A.      Hasil gambar untuk peran nu menjaga nkriPeran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Keagamaan Dan Ekonomi 1. Bidang Keagamaan Sejak berdiri Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi- pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam) sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Ali Imran 107) Sebagai organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis Sebagai organisasi keagamaan, tentunya Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan yang dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain : 1. Didirikan karena motif keagamaan, tidak karena dorongan politik, ekonomi atau lainnya. 2. Berasas keagamaan sehingga segala sikap tingkah laku dan karakteristik

perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum dan ajaran agama. 3. Bercita-cita keagamaan yaitu Izzul Islam wal Muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) menuju Rahmatan lil ‘Alamin (menyebar rahmat bagi seluruh alam). 4. Menitikberatkan kegiatannya pada bidang-bidang yang langsung berhubungan dengan keagamaan, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, dakwah, ma’arif, muamalah dan sebagainya. Ciri keagamaan tersebut dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok, dengan mengutamakan : 1. Pembinaan pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya menuju terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam). 2. Dorongan dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau dan mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan besar meluhurkan kalimah Allah SWT. 3. Mengorganisasikan kegiatan-kegiatan tersebut dalam wadah perjuangan dengan tata kerja dan tata tertib berdasar musyawarah. 2. Bidang Ekonomi Bagi semua orang, berekonomi dalam pengertian berbuat untuk mendapat nafkah hidup adalah suatu kebutuhan mutlak. Bagi orang beragama, berekonomi adalah perintah Allah SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran dan hukum agama. Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan hidup dan di dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara. Berekonomi dalam Islam adalah sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan keluarga. Tetapi Islam tidak membiarkan pemeluknya hanya sekedar mampu memenuhi kebutuhan yang paling minim bagi diri dan keluarganya saja. Islam mendorong secara tegas supaya para pemeluknya memiliki harta benda yang berlebih dari kebutuhan pokoknya, sehingga mampu melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu berzakat berarti memiliki harta benda sedikitnya satu nisab. Orang baru terlepas dari kewajiban itu setelah ternyata tidak mampu, Islam tidak menyenangi kemiskinan, bahkan mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain dengan kewajiban membayar zakat. Nahdlatul Ulama tidak melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya yang permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam berekonomi itu harus ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh agama.
Hasil gambar untuk peran nu menjaga nkri
4. Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan. Dengan demikian jelas bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah yang menjadi perhatian utama Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi. Program berekonomi Nahdlatul Ulama dibatasi tidak lebih dari pokok-pokok ajaran agama dalam berekonomi, yaitu : 1. Mendorong para anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi demi meningkatkan kemampuan ekonominya. 2. Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi selalu mentaati dan mengikuti hukum dan ajaran Islam. Berangkat dari pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul Ulama dapat mewujudkannya dengan cara : a. Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata. b. Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan dengan pedesaan, perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan. c. Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan tentang penentuan skala prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Nahdlatul Ulama juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren, karena terbukti sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan memungkinkan lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga gagasan- gagasan pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan baik oleh masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren. Disamping itu Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung program ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan pertanian. B. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Pendidikan Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan tanggung jawab dan harmonisasi. Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia
Hasil gambar untuk peran nu menjaga nkri
5. dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa. Gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal seperti pesantren. Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya. Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik. Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah : 1. Visi a. Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan teknologi serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah. b. Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah. c. Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan inovatif dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat. 2. Misi a. Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola masyarakat. b. Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat komponen bangsa. Selain sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah. Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian. Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut : a. Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan. b. Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian. c. Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan ekspresi). d. Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren. Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan C. Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Reformasi Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde
7. baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya. Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi. Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu : 1. Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat. 2. Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan. 3. Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 4. Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak. 5. Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab. 6. TNI harus berdiri di atas semua golongan. 7. Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu. 8. Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi. Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja. Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman
8. Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya. Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu : 1. Menghimbau kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa. 2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat. 3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa. 4. Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang. 5. Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent. 6. Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan. 7. Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya. 8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa. D. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Politik Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat bahwa Nahdlatul Ulama selalu
9. memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nahdlatul Ulama juga didasari oleh nilai-nilai ke- Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi. Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama yaitu politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama sebenarnya adalah perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda Nahdlatul Ulama melalui LSM- LSM, ketika melihat Nahdlatul Ulama secara structural kurang peduli terhadap permasalahan yang menyangkut kepentingan rakyat kecil. Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis ketiga, yaitu politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian orang Nahdlatul Ulama. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative sangat pendek, Partai Nahdlatul Ulama yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama orde baru pada tahun 1971, dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua setelah Golongan Karya. Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting Nahdlatul Ulama lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah yang menjadi terbengkalai. Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan yang integral dari para anggotanya dengan aneka ragam latar belakang dan aspirasi masing-masing dan demi mengembangkan budaya politik yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama memberikan pedoman berpolitik sebagai berikut : 1. Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. 3. Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. 4. Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika dan budaya sesuai dengan nilai-nilai sila-sila Pancasila. 5. Berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama. 6. Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh consensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
10. 7. Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan 8. Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling menghargai. 9. Berpolitik menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional. Dengan berpedoman pada etika politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid, Nahdlatul Ulama dapat mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu berpegang pada prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa dan negara serta agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik secara jama’ah (komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga, orang-orang Nahdlatul Ulama yang memiliki jabatan dalam structural organisasi Nahdlatul Ulama tidak masuk ke dalam wilayah politik praktis. Selanjutnya dalam merespon perkembangan politik pada masa reformasi, Nahdlatul Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai politik. Pendeklarasian partai tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan memproses warga nahdliyin yang ingin berkiprah dalam politik praktis agar menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya menjadi negarawan. Pada sisi lain, Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk memasuki partai politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai politisi sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama






BAB III
PEMBAHASAN PERAN NU DALAM MEMPERTAHANKAN NKRI
A.      PERAN NU PADA MASA PENJAJAHAN
 Pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Demikian halnya yang terjadi di pesantren Demangan Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu ketika, ada beberapa pejuang dari
Hasil gambar untuk peran nu menjaga nkri
Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang jauh dari keramaian kota itu. Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut dan marah ketika dalam setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara sekian santri yanag sedang mengaji. Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil sebagai sandera. Mereka Berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri. Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda direpotkan oleh berbagai kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup, hal itu membuat semua aparat penjajah harus berjaga siang dan malam, agar tahanan yang lain melarikan diri. Sementara itu para pejuang ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka ditangkap. Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati. Tentu saja hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai seperti pasar. Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil. Tapi ini juga tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai Cholil. Melihat kenyataan itu akhirnya Belanda membuat pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa diatasi, maka akhirnya pihak penjajah membebaskan Kiai Cholil tanpa syarat. Penghormatan masyaraakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat besar, selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya sebagai waliyullah yangs angat makrifat. Sang Kiai memang orang yang alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan tarekat. Ia tidak hanay menghafal Al-qur’an, tetapidan menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca Al-qur’an). Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan, termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asyari segera mendeklarasikan NU, sebagai organisasi sosial, yang segera disambut oleh seluruh ulana Jawa, Maduran bahkan luar Jawa dan dari luar naegeri. (Mun’im Dz dari berbagai sumber)
 B. PERAN NU PADA MASA KEMERDEKAAN
Hasil gambar untuk peran nu menjaga MASA PENJAJAHANNadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, karena sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali datang ke Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan melawan para penjajah, terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober pasukan Inggris yang tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil Administration) telah menguasai Medan, Padang, Palembang, Bandung dan semarang,sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur diduduki oleh Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada pasukan Inggris. Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari jajahan India. NU juga mendeklarasikan perang suci, berjihad melawan penjajah bersama masyarakat lainnya. ''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Mereka mendeklarasikan resolusi dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan para kaum imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh masyarakat Islam membentuk laskar perang. Para sejarahwan mengakui bahwa pengaruh resolusi jihad.
B.      PERAN NU PADA MASA ORDE LAMA
IMG_30042017_073601.jpg
 NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska kemerdekaan. Akibat konflik internal dan merasa tidak diakomodir oleh faksi Islam modernis dalam Masyumi, NU kemudian mendirikan partai politik tersendiri dan ikut pemilu legislatif dan konstituante pada 1955 dengan menjadikan sebagai kekuataan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada zaman orde lama paska kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai PSI dan Masyumi, presiden Soekarno membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis (PNI), Agama (NU), dan Komunis (PKI).Soeharto memaksa NU berfusii dengan faksi Islam lain dengan membentuk PPP paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara terbesar kedua setelah Golkar. Pembentukan PPP ini mengulang kejadian pembentukan Masyumi di mana peran NU termarjinalkan oleh faksi Islam modern. Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan dimotori Gus Dur
15. mencoba “menetralkan” NU dari politik praktis dengan kembali ke khitah 1926. Selama 14 tahun Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain politik bebas aktif dengan bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi dengan salah satunya mendirikan Fordem tapi di sisi lain berdampingan dengan lingkar kekuasaan. Masih ingat pernyataan Gus Dur tentang Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia dan menemani safari politik Tutut ke kantong-kantong NU. Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada Muktamar di Cipasung Tasik Malaya 1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu Hasan namun ternyata gagal. Tumbangnya Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU dengan politik, 1999-2004, dengan kendaraan PKB, NU mampu mengoptimalkan basis masa sarungan dengan mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004, polarisasi politik baik di NU dan PKB makin mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang mencalonkan diri wapres dengan masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur yang mencalonkan Gus Soleh bersama Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur pecah dengan terbentuknya kepemimpinan ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi Muhaimin yang akhirnya dimenangkan Muhaimin. Perpecahan PKB ini menggerus suara PKB yang turun drastis hanya mendapat setengah dari perolehan 1999 dan 2004. Diawali dengan Pilkada Jatim 2008, dengan dimenangkannnya Sukarwo-Gus Ipul, menjadi pertarungan pemanasan menuju Pilpres 2009. Pilkada Jatim menunjukkan “pemenangnya” adalah NU, karena 4 kandidat memiliki perwakilan NU. Setahun kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di NU, yaitu faksi Gus Dur yang akan cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi Mega-Prabowo, kemudian Kiai NU struktrural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun lampau bertautan dengan Mega akan beralih peran dengan masuk ke kandang JK Wiranto terkait, kemudian faksi adalah pendukung SBY-Budiono dengan motor Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP Anshornya didukung oleh kiai-kiai yang berada di belakang Muhaimin saat konflik PKB. Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di Indonesia akan menjadi pertarungan 3 koalisi Capres dan Wapres, JK sudah tidak bisa berharap dengan daerah Mataraman yang akan menjadi basis Politik SBY-Budi dan Mega Prabowo, sekarang medan tempur sesungguhnya akan terjadi di daerah tapal kuda dan madura yang menjadi ceruk perebutan ketiganya. Pertarungan sesungguhnya akan terjadi antara Kubu JK Win yang “didukung” oleh Hasyim Muzadi dan Kubu SBY Budiono yang didukung oleh Gus Ipul, Muhaimin dan kiai-kiai desa pendukungnya. 40 juta massa NU yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi lahan pertarungan ketiga kubu. NU dengan struktur organisasi yang cair dan berbentuk federasi ulama-ulama dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai satu patron pemimpin. Setiap faksi tidak mampu mengikat massa NU secara keseluruhan. NU sejak 1950an masih tetap sama, menjadi arena pertarungan politik untuk meraih massa sarungan. Di era tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU yang belajar di Timur Tengah. Pasca pendidikan di pesantren-pesantren, mereka melanjutkan pendidikannya di negara asal agama Islam. Berkat hubungan baik antara pesantren dan lembaga
16. pendidikan di Timur Tengah, selain semakin meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran pendidikan formal di kalangan orang NU, maka banyak anak muda NU yang dikirim belajar ke sana. Dalam dekade akhir, sudah banyak di antara mereka yang menempati posisi strategis di dalam tubuh NU di hampir seluruh Indonesia. Sebagai alumni Pendidikan Timur Tengah, terutama Arab Saudi, maka corak pemikiran keagamaannya cenderung ke arah Islam formal, artinya Islam harus menjadi simbol dalam segala hal, tak terkecuali simbol negara. Makanya, banyak di antara mereka yang cenderung berpikir bahwa NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa saja berubah asalkan sesuai dengan tataran realitas politik masyarakat. Ajaran Islam sudah memberikan pedoman dalam segala hal. Islam mengandung ajaran syumuliyah (komprehensif) dan universal. Hubungan antara politik dan negara lebih cenderung integrated. Mereka kurang sepakat dengan adagium minyak onta cap babi, apalagi minyak babi cap onta. Sebab seharusnya adalah minyak onta cap onta. Antara substansi dan simbol harus sama. Di dalam studinya, Ali Maskan (2007) menyatakan bahwa elite NU juga ada yang dikategorikan sebagai Elite NU Fundamentalis, selain yang Moderat dan Fragmatis. Mereka yang beranggapan bahwa Islam mengandung ajaran yang syumuliyah, Pan Islamisme, Universalisme dan formalisasi syariat ditipologikan sebagai Elite NU Fundamentalis. Mereka juga sangat antusias dalam mengapresiasi berbagai macam konsepsi yang dikembangkan oleh MUI terkait dengan pelarangan terhadap aliran sesat, liberalisme dan pluralisme. Kelompok ini dianggapnya akan dapat menggerogoti terhadap keaslian Islam. Islam yang suci murni harus dijauhkan dari doktrin yang bertentangan dengannya. Islam harus tetap genuine sebagaimana sumber aslinya. NU memang dikenal sebagai organisasi keagamaan yang mengusung moderatisme yang rahmatan lil alamin. KH Hasyim Muzadi di dalam berbagai forum mendengungkan tentang Islam dalam coraknya seperti ini. Dan NU memang diapresiasi oleh banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme, i’tidalisme, dan tawasutisme, namun dinamis dan kontekstual. Islam tidak hanya ramah terhadap sesama umat Islam tetapi juga terhadap lainnya, bahkan terhadap seluruh lingkungan. Islam sebagai mayoritas dapat menjadi pelindung bagi kaum minoritas. Makanya harus terdapat formulasi yang tepat untuk semuanya itu. Di dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan asas Pancasila dan UUD 1945. D. PERAN NU PADA MASA ORDE BARU Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967),
17. lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam. Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se- Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI). Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut- penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia. Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu
itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis. Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards.
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN Dari pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Pesantren sebagai front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini. NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi liberal paska kemerdekaan Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
 Aceng Abdul Aziz Dy, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta : 2006. Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar