PERAN NAHDHATUL ULAMA DALAM BELA
NEGARA
DAN MEMPERTAHANKAN NKRI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai
hubungan negara dan agama tidak lepas dari paham teokrasi, sekularis, komunis
dan moderasi. Ke empat paham ini berbicara secara luas dan gamblang mengenai
hubungan agama dan negara. Teokrasi, berpandangan bahwa hubungan agama dan
Negara mempunyai hubungan yang signifikan. Dengan kata lain hubungan agama dan
Negara sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan.karena pemerintahan
dijalankan didasarkan firman-firman tuhan. Sekularis, berpandangan bahwa Negara
dan agama tidak memiliki hubungan satu sama lain, dalam paham ini Negara dan
agama adalah murni urusan hubungan manusia dengan manusia lain sedangkan agama
adalah murni urusan manusia dengan tuhan. Komunis, paham ini berpandangan
secara radikal, bahwa hubungan agama dan Negara berdasarkan pada filosofis
materialism dialektis dan materialism historis. Output dan outcome dari
pandangan ini adalah paham atheis. Moderasi, yaitu sintesa dari paham teokrasi
dan sekuler. Paham ini berpendirian bahwa terdapat nilai-nilai baik, seperti
nilai keadilan dan moral dan system keteraturan. Sementara Negara memiliki
system kekuatan yang mengejawantahkan tujuan Negara, seperti nilai
kesejahteraan dan kenyamanan warga Negara. Namun dalam pembahasan makalah ini
penulis tidak akan membahas mengenai hubungan agama dan Negara menurut paham
teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi seperti apa yang telah dijelaskan di
atas. Walaupun penulis sadar bahwa pembahasan mengenai paham tersebut masih
menarik untuk dibahas. Namun pembahsan makalah ini bertendensi pada hubungan
agama dan Negara mengenai kontribusi atau sumbangsih Nahdhatul Ulama (NU)
terhadap perjalanan sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia sebagai representasi
dari Agama Islam . Dengan hal ini maka perlu adanya pembatasan masalah agar
pembahasan dalam makalh ini tidak melebar dan pembahsannya focus pada
permasalahan yang dirumuskan.
BAB II
PERANAN NAHDLATUL ULAMA DALAM
MEMPERJUANGKAN KEBERADAAN NEGARA RI
A. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang
Keagamaan Dan Ekonomi 1. Bidang Keagamaan Sejak berdiri Nahdlatul Ulama
menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah
Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi- pribadi
muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam
serta mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para
pemeluknya sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam)
sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : Tidaklah Kami mengutusmu
(Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Ali Imran 107)
Sebagai organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan
dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip
persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan
antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai
keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan
kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis Sebagai organisasi keagamaan, tentunya
Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan yang dapat dilihat dalam beberapa hal,
antara lain : 1. Didirikan karena motif keagamaan, tidak karena dorongan
politik, ekonomi atau lainnya. 2. Berasas keagamaan sehingga segala sikap
tingkah laku dan karakteristik
perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan norma
hukum dan ajaran agama. 3. Bercita-cita keagamaan yaitu Izzul Islam wal
Muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) menuju Rahmatan lil ‘Alamin
(menyebar rahmat bagi seluruh alam). 4. Menitikberatkan kegiatannya pada
bidang-bidang yang langsung berhubungan dengan keagamaan, seperti masalah
ubudiyyah, mabarrat, dakwah, ma’arif, muamalah dan sebagainya. Ciri keagamaan
tersebut dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok, dengan
mengutamakan : 1. Pembinaan pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan
hidup dan kehidupannya menuju terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam).
2. Dorongan dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau dan
mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan
besar meluhurkan kalimah Allah SWT. 3. Mengorganisasikan kegiatan-kegiatan
tersebut dalam wadah perjuangan dengan tata kerja dan tata tertib berdasar
musyawarah. 2. Bidang Ekonomi Bagi semua orang, berekonomi dalam pengertian
berbuat untuk mendapat nafkah hidup adalah suatu kebutuhan mutlak. Bagi orang
beragama, berekonomi adalah perintah Allah SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan
dengan ajaran dan hukum agama. Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara
kelangsungan hidup dan di dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat
sesuatu untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara. Berekonomi dalam Islam
adalah sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan keluarga. Tetapi
Islam tidak membiarkan pemeluknya hanya sekedar mampu memenuhi kebutuhan yang
paling minim bagi diri dan keluarganya saja. Islam mendorong secara tegas
supaya para pemeluknya memiliki harta benda yang berlebih dari kebutuhan
pokoknya, sehingga mampu melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu berzakat
berarti memiliki harta benda sedikitnya satu nisab. Orang baru terlepas dari
kewajiban itu setelah ternyata tidak mampu, Islam tidak menyenangi kemiskinan, bahkan
mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain dengan kewajiban membayar
zakat. Nahdlatul Ulama tidak melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya
yang permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam berekonomi itu
harus ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh agama.
4. Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama
pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya
pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha
dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan
berkembangnya ekonomi kerakyatan. Dengan demikian jelas bahwa kesejahteraan
umat merupakan masalah yang menjadi perhatian utama Nahdlatul Ulama dalam
kiprahnya di bidang ekonomi. Program berekonomi Nahdlatul Ulama dibatasi tidak
lebih dari pokok-pokok ajaran agama dalam berekonomi, yaitu : 1. Mendorong para
anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi demi meningkatkan
kemampuan ekonominya. 2. Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi
selalu mentaati dan mengikuti hukum dan ajaran Islam. Berangkat dari
pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul Ulama dapat mewujudkannya dengan cara : a.
Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata. b.
Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan dengan
pedesaan, perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan. c.
Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan tentang
penentuan skala prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Nahdlatul Ulama juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren,
karena terbukti sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan
memungkinkan lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga gagasan-
gagasan pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan baik
oleh masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren. Disamping itu
Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung program
ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan pertanian.
B. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Pendidikan Nahdlatul Ulama memaknai
pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam
memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan
harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan
komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan
tanggung jawab dan harmonisasi. Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah,
satu, untuk mencerdaskan manusia
5. dan bangsa sehingga menjadi terhormat
dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang plural
sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa. Gerakan pendidikan
Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama sebagai
organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul Ulama
dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan
yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang
disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu
pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur. Dalam mengusahakan terciptanya
pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya proses pendidikan
yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah menjadi salah satu
program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal seperti pesantren.
Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang
khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu
bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula
masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental,
percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa
penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan
bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya. Lembaga Pendidikan
Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau
bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul
Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan
sekolah atau madrasah menjadi lebih baik. Sebagai lembaga yang diberi
kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif
mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas
pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :
1. Visi a. Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan
teknologi serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah. b. Tersedianya kader-kader
bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang berakhlak karimah. c. Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama
yang mandiri, kreatif dan inovatif dalam melakukan pencerahan kepada
masyarakat. 2. Misi a.
Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola
masyarakat. b. Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai
perekat komponen bangsa. Selain sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang
dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Dengan segala dinamikanya,
keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan besar yang tidak ternilai
harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan tradisi keagamaan yang
kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah. Pendidikan pesantren
dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki kemandirian
yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu
(agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren tidak sedikit yang
tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan,
kenegaraan maupun kepribadian. Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren
ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut : a. Adanya tahapan-tahapan materi
keilmuan. b. Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian. c. Adanya
metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan
ekspresi). d. Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.
Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam
pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi
yang menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang
lebih baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti
keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan C.
Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Reformasi Masa reformasi yang menjadi tanda
berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi
Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru
berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang
gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde
7. baru juga dibatasi, terutama dalam
hal aktivitas politiknya. Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama
untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama
yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih
sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah,
setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan
untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal
dengan Refleksi Reformasi. Refleksi reformasi ini berisi delapan butir
pernyataan sikap dari PBNU, yaitu : 1. Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab
moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat. 2.
Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali
ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan
sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
3. Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau
terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 4.
Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan
hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya
pemaksaan kehendak. 5. Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi
secara arif dan bertanggung jawab. 6. TNI harus berdiri di atas semua golongan.
7. Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan
pada kelompok tertentu. 8. Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera
dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi. Pada perkembangan selanjutnya,
PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi
diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan
itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M.
Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad
Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja. Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang
merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak
sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan
reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah
pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri,
Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini
dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman
8. Wahid), karena kondisi kesehatan KH.
Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang
menimpanya. Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah
kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian
mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang
berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu : 1. Menghimbau kepada semua pihak
agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa. 2. Mengembalikan
kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan sebagai
penjelmaan aspirasi rakyat. 3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa. 4. Pelaksanaan
reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang. 5.
Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent. 6. Penghapusan dwi
fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini
dibacakan. 7. Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan
Soeharto dan kroni-kroninya. 8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM
Swakarsa Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan
menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai
wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah
SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang
melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan
di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan
penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan
mengurangi ketegangan antar komponen bangsa. D. Peran Nahdlatul Ulama Dalam
Bidang Politik Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik
dalam pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan
dan politik kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas
politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan,
karena Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat bahwa
Nahdlatul Ulama selalu
9. memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain
dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
Nahdlatul Ulama juga didasari oleh nilai-nilai ke- Indonesia-an dan semangat
nasionalisme yang tinggi. Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul
Ulama yaitu politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama
sebenarnya adalah perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang
ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian
diambil alih oleh generasi muda Nahdlatul Ulama melalui LSM- LSM, ketika melihat
Nahdlatul Ulama secara structural kurang peduli terhadap permasalahan yang
menyangkut kepentingan rakyat kecil. Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik
jenis ketiga, yaitu politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis.
Politik kekuasaan merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian
orang Nahdlatul Ulama. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama
pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun
1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative sangat pendek, Partai
Nahdlatul Ulama yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga
setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama
orde baru pada tahun 1971, dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua
setelah Golongan Karya. Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun
ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting
Nahdlatul Ulama lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah
yang menjadi terbengkalai. Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu
kesatuan yang integral dari para anggotanya dengan aneka ragam latar belakang
dan aspirasi masing-masing dan demi mengembangkan budaya politik yang
bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama memberikan pedoman berpolitik sebagai
berikut : 1. Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan
menuju integrasi bangsa dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. 3.
Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan
demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai
kemaslahatan bersama. 4. Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika dan
budaya sesuai dengan nilai-nilai sila-sila Pancasila. 5. Berpolitik harus
dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama. 6. Berpolitik dilakukan
untuk memperkokoh consensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan
akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
10. 7. Berpolitik dengan dalih apapun
tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah
persatuan 8. Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana
persaudaraan dan saling menghargai. 9. Berpolitik menuntut adanya komunikasi
kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional. Dengan berpedoman pada
etika politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid, Nahdlatul Ulama dapat
mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu berpegang pada
prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa dan negara serta
agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik secara jama’ah
(komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga, orang-orang Nahdlatul Ulama
yang memiliki jabatan dalam structural organisasi Nahdlatul Ulama tidak masuk
ke dalam wilayah politik praktis. Selanjutnya dalam merespon perkembangan
politik pada masa reformasi, Nahdlatul Ulama memfasilitasi pendeklarasian
sebuah partai politik. Pendeklarasian partai tersebut bertujuan untuk menyalurkan
dan memproses warga nahdliyin yang ingin berkiprah dalam politik praktis agar
menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya menjadi negarawan. Pada sisi
lain, Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk memasuki partai
politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai politisi
sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik
nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak
kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama
BAB III
PEMBAHASAN PERAN NU DALAM
MEMPERTAHANKAN NKRI
A. PERAN NU PADA
MASA PENJAJAHAN
Pesantren sebagai front perlawanan
terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan
sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren
menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Demikian halnya yang
terjadi di pesantren Demangan Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat
kharismatik. Suatu ketika, ada beberapa pejuang dari
Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang jauh dari
keramaian kota itu. Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka
tidak ada pilihan lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk
mengobrak-abrik kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang
bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut dan marah ketika dalam setiap
penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai sebagai
pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara sekian santri yanag sedang mengaji.
Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil sebagai sandera. Mereka
Berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau
menyerahkan diri. Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda
direpotkan oleh berbagai kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu
tahanan tak bisa ditutup, hal itu membuat semua aparat penjajah harus berjaga
siang dan malam, agar tahanan yang lain melarikan diri. Sementara itu para
pejuang ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan
mereka ditangkap. Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari
berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk
menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati.
Tentu saja hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai
seperti pasar. Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil.
Tapi ini juga tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat yang berbondong-bondong
itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut
ditahan bersama Kiai Cholil. Melihat kenyataan itu akhirnya Belanda membuat
pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa diatasi, maka
akhirnya pihak penjajah membebaskan Kiai Cholil tanpa syarat. Penghormatan
masyaraakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat besar, selain
menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim Asy’ari,
Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya sebagai
waliyullah yangs angat makrifat. Sang Kiai memang orang yang alim dalam ilmu nahwu,
fiqh dan tarekat. Ia tidak hanay menghafal Al-qur’an, tetapidan menguasai
segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca
Al-qur’an). Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan,
termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil,
sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih
menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan
jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad
Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asyari segera mendeklarasikan NU, sebagai
organisasi sosial, yang segera disambut oleh seluruh ulana Jawa, Maduran bahkan
luar Jawa dan dari luar naegeri. (Mun’im Dz dari berbagai sumber)
Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat
kebangkitan nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik
Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat
pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka
dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, karena
sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali
datang ke Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut,
warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan melawan para penjajah, terutama
saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai
daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober pasukan Inggris yang tergabung dalam
NICA (Netherland Indies Civil Administration) telah menguasai Medan, Padang,
Palembang, Bandung dan semarang,sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur
diduduki oleh Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada
pasukan Inggris. Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang
terdiri dari jajahan India. NU juga mendeklarasikan perang suci, berjihad
melawan penjajah bersama masyarakat lainnya. ''Ribuan kiai dan santri NU di
seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945,
dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Mereka
mendeklarasikan resolusi dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara
lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs
(1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban
perang melawan para kaum imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh
masyarakat Islam membentuk laskar perang. Para sejarahwan mengakui bahwa
pengaruh resolusi jihad.
B. PERAN NU PADA
MASA ORDE LAMA
NU dalam setiap penyelenggaraan
pemilu menjadi gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde
Lama sampai dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan
entitas organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman
demokrasi liberal paska kemerdekaan. Akibat konflik internal dan merasa tidak
diakomodir oleh faksi Islam modernis dalam Masyumi, NU kemudian mendirikan
partai politik tersendiri dan ikut pemilu legislatif dan konstituante pada 1955
dengan menjadikan sebagai kekuataan terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi.
Pada zaman orde lama paska kembalinya ke UUD 45 dan pembekuan partai PSI dan
Masyumi, presiden Soekarno membentuk Nasakom dengan pilar Nasionalis (PNI),
Agama (NU), dan Komunis (PKI).Soeharto memaksa NU berfusii dengan faksi Islam
lain dengan membentuk PPP paska pemilihan umum 1971 di mana NU meraih suara
terbesar kedua setelah Golkar. Pembentukan PPP ini mengulang kejadian
pembentukan Masyumi di mana peran NU termarjinalkan oleh faksi Islam modern.
Puncaknya pada Muktamar NU Situbondo pada 1984 dengan dimotori Gus Dur
15. mencoba
“menetralkan” NU dari politik praktis dengan kembali ke khitah 1926. Selama 14
tahun Gus Dur mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan dan bermain politik bebas
aktif dengan bermain di dua kaki, ikut gerakan pro demokrasi dengan salah satunya
mendirikan Fordem tapi di sisi lain berdampingan dengan lingkar kekuasaan.
Masih ingat pernyataan Gus Dur tentang Mbak Tutut sebagai calon pemimpin masa
depan Indonesia dan menemani safari politik Tutut ke kantong-kantong NU.
Aktivitas Gus Dur membuat gerah Soeharto sehingga pada Muktamar di Cipasung
Tasik Malaya 1994, mencoba didongkel dengan pencalonan Abu Hasan namun ternyata
gagal. Tumbangnya Soeharto, menjadi masa bulan Madu NU dengan politik,
1999-2004, dengan kendaraan PKB, NU mampu mengoptimalkan basis masa sarungan
dengan mendapatkan suara 10 persen. Sejak 2004, polarisasi politik baik di NU
dan PKB makin mengental, faksi Ketua Umum Hasyim Muzadi yang mencalonkan diri
wapres dengan masuk ke kubu Mega, sebaliknya Faksi Gus Dur yang mencalonkan Gus
Soleh bersama Wiranto. Paska pemilu 2004, faksi Gus Dur pecah dengan
terbentuknya kepemimpinan ganda antara faksi Gus Dur dengan Faksi Muhaimin yang
akhirnya dimenangkan Muhaimin. Perpecahan PKB ini menggerus suara PKB yang
turun drastis hanya mendapat setengah dari perolehan 1999 dan 2004. Diawali
dengan Pilkada Jatim 2008, dengan dimenangkannnya Sukarwo-Gus Ipul, menjadi
pertarungan pemanasan menuju Pilpres 2009. Pilkada Jatim menunjukkan
“pemenangnya” adalah NU, karena 4 kandidat memiliki perwakilan NU. Setahun
kemudian pertarungan tiga faksi terbesar di NU, yaitu faksi Gus Dur yang akan
cenderung Golput atau cenderung masuk ke Faksi Mega-Prabowo, kemudian Kiai NU
struktrural di KH Hasyim Muzadi yang lima tahun lampau bertautan dengan Mega
akan beralih peran dengan masuk ke kandang JK Wiranto terkait, kemudian faksi
adalah pendukung SBY-Budiono dengan motor Muhaimin Iskandar, Gus Ipul dengan GP
Anshornya didukung oleh kiai-kiai yang berada di belakang Muhaimin saat konflik
PKB. Jawa Timur sebagai kandang NU terbesar di Indonesia akan menjadi
pertarungan 3 koalisi Capres dan Wapres, JK sudah tidak bisa berharap dengan
daerah Mataraman yang akan menjadi basis Politik SBY-Budi dan Mega Prabowo,
sekarang medan tempur sesungguhnya akan terjadi di daerah tapal kuda dan madura
yang menjadi ceruk perebutan ketiganya. Pertarungan sesungguhnya akan terjadi
antara Kubu JK Win yang “didukung” oleh Hasyim Muzadi dan Kubu SBY Budiono yang
didukung oleh Gus Ipul, Muhaimin dan kiai-kiai desa pendukungnya. 40 juta massa
NU yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi lahan pertarungan ketiga kubu. NU
dengan struktur organisasi yang cair dan berbentuk federasi ulama-ulama
dibandingkan ikatan organisasi yang dikuasai satu patron pemimpin. Setiap faksi
tidak mampu mengikat massa NU secara keseluruhan. NU sejak 1950an masih tetap
sama, menjadi arena pertarungan politik untuk meraih massa sarungan. Di era
tahun 1990-an semakin banyak anak-anak muda NU yang belajar di Timur Tengah.
Pasca pendidikan di pesantren-pesantren, mereka melanjutkan pendidikannya di
negara asal agama Islam. Berkat hubungan baik antara pesantren dan lembaga
16. pendidikan di Timur Tengah, selain
semakin meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran pendidikan formal di kalangan
orang NU, maka banyak anak muda NU yang dikirim belajar ke sana. Dalam dekade
akhir, sudah banyak di antara mereka yang menempati posisi strategis di dalam
tubuh NU di hampir seluruh Indonesia. Sebagai alumni Pendidikan Timur Tengah,
terutama Arab Saudi, maka corak pemikiran keagamaannya cenderung ke arah Islam
formal, artinya Islam harus menjadi simbol dalam segala hal, tak terkecuali
simbol negara. Makanya, banyak di antara mereka yang cenderung berpikir bahwa
NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 bisa saja berubah asalkan sesuai dengan
tataran realitas politik masyarakat. Ajaran Islam sudah memberikan pedoman
dalam segala hal. Islam mengandung ajaran syumuliyah (komprehensif) dan
universal. Hubungan antara politik dan negara lebih cenderung integrated.
Mereka kurang sepakat dengan adagium minyak onta cap babi, apalagi minyak babi
cap onta. Sebab seharusnya adalah minyak onta cap onta. Antara substansi dan
simbol harus sama. Di dalam studinya, Ali Maskan (2007) menyatakan bahwa elite
NU juga ada yang dikategorikan sebagai Elite NU Fundamentalis, selain yang
Moderat dan Fragmatis. Mereka yang beranggapan bahwa Islam mengandung ajaran
yang syumuliyah, Pan Islamisme, Universalisme dan formalisasi syariat
ditipologikan sebagai Elite NU Fundamentalis. Mereka juga sangat antusias dalam
mengapresiasi berbagai macam konsepsi yang dikembangkan oleh MUI terkait dengan
pelarangan terhadap aliran sesat, liberalisme dan pluralisme. Kelompok ini
dianggapnya akan dapat menggerogoti terhadap keaslian Islam. Islam yang suci
murni harus dijauhkan dari doktrin yang bertentangan dengannya. Islam harus
tetap genuine sebagaimana sumber aslinya. NU memang dikenal sebagai organisasi
keagamaan yang mengusung moderatisme yang rahmatan lil alamin. KH Hasyim Muzadi
di dalam berbagai forum mendengungkan tentang Islam dalam coraknya seperti ini.
Dan NU memang diapresiasi oleh banyak kalangan juga berkat konsep tawazunisme,
i’tidalisme, dan tawasutisme, namun dinamis dan kontekstual. Islam tidak hanya
ramah terhadap sesama umat Islam tetapi juga terhadap lainnya, bahkan terhadap
seluruh lingkungan. Islam sebagai mayoritas dapat menjadi pelindung bagi kaum
minoritas. Makanya harus terdapat formulasi yang tepat untuk semuanya itu. Di
dalam sistem kenegaraan, maka pilihannya adalah NKRI dengan asas Pancasila dan
UUD 1945. D. PERAN NU PADA MASA ORDE BARU Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25
Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10
Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada
Mandataris MPRS (12 Februari 1967),
17. lalu disusul pelantikan Soeharto (12
Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri
bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII
GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung
kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan
diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti
tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa
terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan
Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan
Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan siasat untuk
mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim
Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa
kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam. Kongres VII GP Ansor
berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut
sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-
Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution;
Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU);
H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum
PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan
yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya
dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program
perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Dalam kongres ini juga
merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru dengan
beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b)
menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam
manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d)
mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD
1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan
penganut- penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang
bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu,
juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan
kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII
tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor
memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif
ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya
secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus
menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor
mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar
dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu
itu sempat
mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya
operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah
tersebut bermotif ideologis dan strategis. Sesungguhnya kongres juga telah
memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal
Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde
Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan
menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah. Tapi,
demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir
pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards
dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang
kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah
gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah
Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer
mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan
pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari
pembahasan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Pesantren sebagai front
perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap
tempat dan sembarang zaman. Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya
pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan. Nadhlatul Ulama
(NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional,
memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU
baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan
kemerdekaan negara tercinta ini. NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi
gadis molek yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai
dengan paska Orde baru. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas
organisasi masyarakat keislaman lain membentuk Masyumi, pada zaman demokrasi
liberal paska kemerdekaan Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP
Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung
kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan
diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abdul Aziz Dy,
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia, Pustaka Ma’arif NU : Jakarta :
2006. Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, Khalista : Surabaya 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar